Kucing-Kucing Ulthar karya H.P. Lovecraft (Terjemahan)

Teks sumber: The Cats of Ulthar | Diterjemahkan oleh Ray Antariksa

Konon di Ulthar, yang letaknya di seberang Sungai Skai, tak seorang pun boleh membunuh kucing. Memandangi kucingku yang duduk mendengkur di depan perapian, sungguh aku menyetujui itu. Sebab, kucing adalah binatang yang penuh teka-teki, yang dekat dengan makhluk-makhluk ganjil yang tak bisa dilihat manusia. Ia jiwa dari Aegyptus kuno, dan pengusung dongeng-dongeng kota terlupakan di Meroë dan Ophir. Ia kerabat dari raja-raja hutan, pewaris dari rahasia-rahasia seram di Afrika. Sphinx adalah sepupunya, dan ia berbicara dalam bahasanya; tetapi ia lebih kuno dari Sphinx, dan mengingat hal-hal yang Sphinx tak bisa ingat.

Di Ulthar, sebelum larangan pembunuhan terhadap kucing dikeluarkan oleh para pengurus desa, tinggallah seorang petani tua dan istrinya yang senang menangkap dan membantai kucing-kucing tetangga. Mengapa mereka melakukannya, aku tak tahu, kecuali bahwa banyak yang membenci suara kucing pada malam hari dan merasa terganggu ketika para kucing berlarian mengendap-endap di sekitar halaman dan kebun pada saat petang. Apa pun alasannya, si Pria Tua dan istrinya gemar menangkap dan membantai setiap kucing yang mendekat ke pondok mereka, dan dari suara-suara yang terdengar dalam kegelapan, banyak penduduk membayangkan bahwa pembantaian itu dilakukan dengan cara yang sangat ganjil.

Walau begitu, para penduduk tak pernah membicarakan itu dengan si Pria Tua dan istrinya karena ekspresi tak enak di wajah kisut mereka dan karena pondok mereka yang terletak di belakang pepohonan ek dan pekarangan yang terbengkalai itu begitu sempit dan gelap. Pada kenyataannya, meski para pemilik kucing sangat membenci pasangan tua ini, mereka sebenarnya takut pada mereka, dan ketimbang mencaci si Pria Tua dan istrinya sebagai sepasang pembunuh sadis, mereka berusaha agar kucing-kucing dan hewan peliharaan mereka tidak berkeliaran di sekitar pondok gelap itu. Jika gara-gara suatu kelalaian seekor kucing menghilang lalu suara-suara terdengar sehabis gelap dari pondok itu, pemilik kucing itu hanya akan meratap putus asa, atau berusaha menghibur dirinya sendiri dengan bersyukur kepada Takdir karena yang hilang bukan anak-anaknya. Penduduk Ulthar memang pada dasarnya sederhana, dan sesungguhnya tidak tahu-menahu dari mana para kucing berasal.

Suatu hari, sebuah karavan milik sekelompok pengembara dari Selatan memasuki jalanan berbatu Ulthar. Pengembara-pengembara itu berkulit gelap dan tak tampak seperti pengelana-pengelana yang mampir ke desa setiap dua kali dalam setahun. Di pasar, mereka menjual ramalan untuk beberapa koin perak dan membeli manik-manik cantik dari para pedagang. Dari mana para pengembara ini berasal tak ada yang tahu, tetapi terlihat bahwa mereka memanjatkan doa-doa aneh dan melukisi setiap sisi gerbong mereka dengan bentuk-bentuk unik berbadan manusia dan berkepala binatang seperti kucing, elang, domba, dan singa. Pemimpin karavan itu mengenakan hiasan kepala dengan dua tanduk dan sebuah cakram di tengah-tengahnya.

Di salah satu karavan itu tinggal seorang bocah lelaki yang tak punya ayah maupun ibu untuk dikasihi, tetapi memiliki seekor anak kucing berwarna hitam yang kecil mungil. Wabah telah menimpa keluarga bocah itu dengan kemalangan, tetapi menganugerahinya dengan makhluk berbulu kecil ini untuk meringankan kesedihannya. Dan anak yang begitu muda dapat menemukan ketenangan dengan mudahnya dalam lucunya seekor anak kucing hitam. Bocah yang oleh para pengembara sebut Menes itu lebih banyak tersenyum daripada menangis ketika ia duduk bermain bersama kucing lincahnya di tangga-tangga gerbong berlukisan unik itu.

Namun, pada pagi ketiga para pengembara itu di Ulthar, Menes kehilangan kucingnya. Ia memanggil-manggil kucing itu sambil menangis di kawasan pasar, hingga beberapa penduduk memberitahunya soal si Pria Tua dan istrinya, serta suara-suara yang terdengar dari pondok pasangan itu pada malam sebelumnya. Setelah mendengar itu tangis Menes berubah menjadi ketepekuran, lalu menjadi rangkaian doa. Ia mengulurkan tangan ke arah matahari dan merapal dalam bahasa yang tak dimengerti para penduduk, meski para penduduk pun tidak benar-benar berusaha untuk mengerti karena perhatian mereka teralih ke langit dan pada wujud-wujud aneh yang dibentuk awan-gemawan. Peristiwa ini memang begitu ganjil, terlebih ketika bocah lelaki itu merapalkan permohonannya, tampaklah bentuk-bentuk samar berbagai wujud eksotis di atas kepalanya, yang terdiri atas makhluk-makhluk hibrida bermahkotakan cakram-cakram bertanduk. Alam begitu kaya akan ilusi untuk memukau para pengkhayal.

Malam itu para pengembara meninggalkan Ulthar, dan tak pernah terlihat lagi. Dan para penduduk menjadi gelisah ketika menyadari bahwa di segala penjuru desa tak seekor pun kucing bisa ditemukan. Dari setiap kediaman, kucing-kucing kesayangan menghilang; yang besar dan yang kecil, yang hitam, kelabu, bergaris, kuning, dan putih. Kranon Tua sang kepala desa bersumpah bahwa para pengembara berkulit gelaplah yang telah menculik semua kucing sebagai balas dendam atas terbunuhnya kucing Menes, dan mengutuk rombongan bocah lelaki itu. Tetapi Nith, si notaris yang kurus, mengungkapkan bahwa si Pria Tua dan istrinya lebih mungkin untuk dicurigai, sebab pasangan itu sangat membenci kucing dengan kebencian yang kian membesar, sebagaimana diketahui semua warga desa.

Kendati begitu, tetap saja tak seorang pun berani menegur pasangan menyeramkan itu, bahkan ketika si kecil Atal, putra pengurus penginapan, bersumpah telah melihat kucing-kucing Ulthar di pekarangan penuh pepohonan terlaknat milik pasangan itu pada petang hari, berjalan begitu pelan dan tenang mengitari pondok, sejajar dua-dua, seolah sedang melaksanakan ritual dari makhluk buas yang tak pernah terdengar. Para penduduk desa tak tahu seberapa jauh mereka bisa memercayai perkataan seorang bocah, dan meski mereka takut pasangan jahat itu telah membunuh kucing-kucing mereka, mereka memilih untuk tidak menggerebek si Pria Tua sampai bisa bertemu dengannya di luar pekarangan kumuhnya.

Maka penduduk Ulthar pun pergi tidur dengan amarah terpendam. Ketika esoknya mereka terbangun pada saat fajar—lihat! Semua kucing telah pulang ke kediaman masing-masing! Yang besar dan yang kecil, yang hitam, kelabu, bergaris, kuning, dan putih, tak terkecuali. Tampak molek dan gemuk mereka semua, dan terdengar nyaring mereka dengan dengkuran bahagia.

Warga desa memperbincangkan peristiwa itu dengan satu sama lain, dan merasa sangat takjub. Kranon Tua lagi-lagi bersikeras bahwa rombongan berkulit gelaplah yang telah mengambil kucing-kucing itu, sebab tak pernah ada kucing yang kembali hidup-hidup jika diculik oleh si Pria Tua dan istrinya. Namun, semua orang menyetujui satu hal: bahwa para kucing bertingkah sangat aneh karena menolak jatah daging dan susu mereka. Sampai dua minggu berikutnya pun para kucing molek nan malas itu enggan menyentuh makanan mereka, dan hanya mau bermalas-malasan di depan perapian atau di bawah sinar matahari.

Genap seminggu telah berlalu ketika para penduduk menyadari tak lagi terlihat cahaya lampu di petang hari dari jendela pondok si Pria Tua. Lalu si Kurus Nith menceletuk bahwa tak seorang pun pernah melihat Pria Tua dan istrinya lagi sejak malam ketika para kucing menghilang. Minggu berikutnya sang Kepala Desa memutuskan untuk melawan rasa takutnya dan berseru pada keheningan kediaman itu semata-mata karena itu adalah tugasnya, sembari membawa Shang si pandai besi dan Thul si pemotong batu sebagai saksi. Dan ketika mereka menerobos pintu reyot pondok itu, hanya inilah yang mereka temukan: dua kerangka manusia yang sudah disantap habis di lantai kayu serta sekawanan kumbang yang merayap di sudut-sudut gelap.

Terjadilah banyak kasak-kusuk di kalangan pengurus desa. Zath, si koroner, berselisih keras dengan Nith si notaris kurus, dan Kranon, Shang, serta Thul kewalahan menerima begitu banyak pertanyaan. Bahkan si kecil Atal, putra pengurus penginapan, turut diinterogasi dan dihadiahi dengan gula-gula. Semua orang berbicara soal si Pria Tua dan istrinya, soal rombongan karavan pengembara berkulit gelap, soal si kecil Menes dan anak kucing hitamnya, soal doa-doa Menes dan langit pada saat itu, soal apa yang dilakukan para kucing pada malam kepergian rombongan karavan itu, dan soal apa yang kemudian ditemukan di pondok di belakang pepohonan ek yang sempit dan gelap.

Hingga pada akhirnya, para pengurus desa mengeluarkan kebijakan luar biasa yang diperbincangkan para pedagang di Hatheg dan para pengelana di Nir, bahwa di Ulthar, tak seorang pun boleh membunuh kucing.

———

Dagon karya H.P. Lovecraft (Terjemahan)

Teks sumber: Dagon | Diterjemahkan oleh Ray Antariksa

Aku menulis ini di bawah tekanan mental yang cukup besar, sebab mulai malam ini aku akan mati. Melarat, dengan hanya sedikit sisa obat yang selama ini membantuku bertahan, aku tak mampu lagi menanggung siksaan ini, dan mesti melempar diriku sendiri sebentar lagi dari jendela loteng ini ke kotornya jalanan di bawah sana. Janganlah berpikir canduku pada morfin menjadikanku lemah atau tak bermoral. Ketika kau sudah membaca corat-coret tulisan ini kau akan tahu, meski tidak benar-benar mengerti, mengapa aku harus memilih teler atau mati.

Di tengah luasnya lautan Pasifik yang sepilah kapal kargo yang kutumpangi jatuh ke tangan bandit laut Jerman. Perang akbar masih baru saja bermula pada saat itu. Angkatan laut-angkatan laut Hun belum sepenuhnya jatuh terpuruk seperti yang kelak terjadi. Situasi itu kontan menjadikan kapal kami harta karun yang sah secara hukum, sementara kami sebagai kru diperlakukan dengan adil dan pantas sebagaimana tawanan angkatan laut. Seleluasa itu memang sikap para penyandra kami, hingga lima hari setelah kami ditangkap aku berhasil melarikan diri sendirian dengan sebuah perahu dan perbekalan yang cukup untuk beberapa hari.

Ketika akhirnya aku terapung-apung di laut, barulah kusadari aku tak benar-benar mengenali lingkungan di sekitarku. Bukan navigator kompeten, aku hanya bisa menebak-nebak dari posisi matahari dan bintang bahwa aku sepertinya berada di sisi selatan khatulistiwa. Garis bujur aku tak mengerti sama sekali, dan tak ada satu pun pulau maupun garis pantai yang terlihat. Cuaca cukup bersahabat, dan entah berapa hari aku hanya mengambang tanpa tujuan di bawah teriknya matahari; menunggu adanya kapal yang lewat, atau terdampar di pesisir sebuah daratan yang layak huni. Tetapi tak kunjung ada satu pun kapal atau daratan yang muncul, dan aku mulai putus asa dalam kesendirian di bawah hari-hari berlangit biru.

Perubahan itu terjadi saat aku terlelap. Detailnya tak pernah kutahu; sebab tidurku, meski tak nyenyak dan dipenuhi mimpi, berlanjut cukup lama. Ketika pada akhirnya aku terbangun, tubuhku telah tersedot separuh ke dalam bentangan lumpur hitam licin yang menghampar di sekelilingku dengan gerak mengombak monoton sejauh mata bisa memandang, dan perahuku telah tergeletak kandas cukup jauh.

Meski bisa dibayangkan reaksi pertamaku adalah takjub mendapati perubahan pemandangan yang begitu luar biasa dan tak terduga, nyatanya ketakutanku lebih besar dari keterpanaan. Sebab, di udara dan dalam tanah yang membusuk, terdapat hawa mencekam yang membuatku merinding semerinding-merindingnya. Area itu berbau menyengat dari ikan-ikan mati yang membusuk dalam hamparan lumpur yang menjijikkan, dan entah ada apa lagi di dalamnya. Barangkali aku tak perlu berusaha menerjemahkan kengerian teramat sangat yang hanya bisa diungkapkan dalam keterpanaan dan kesenyapan. Tak ada satu pun suara yang terdengar dan tak ada apa pun yang terlihat kecuali hamparan luas lendir hitam; dan keheningan total dari satu-satunya pemandangan itu menekanku dengan rasa takut yang membuatku mual.

Matahari bersinar terang-benderang dari langit yang anehnya tampak seperti berwarna hitam tanpa setitik pun awan, seakan-akan memantulkan rawa-rawa tinta yang kupijak. Sembari merangkak menuju perahu karamku, aku terpikirkan sebuah teori yang dapat menjelaskan keadaan ini. Melalui sebuah gejolak vulkanik yang tak pernah terjadi sebelumnya, sebagian dasar lautan pastilah telah terlempar ke permukaan, mengekspos segala hal yang telah terpendam dalam kedalaman samudra selama jutaan tahun. Saking luasnya daratan baru ini, aku tak bisa mendengar barang selirih apa pun gemuruh lautan meski sudah menajamkan pendengaran. Tak terlihat pula unggas-unggas laut yang mestinya memangsa bangkai-bangkai di sekitarku.

Selama berjam-jam aku hanya duduk berpikir atau termenung di perahu, yang terbalik ke satu sisinya dan menyediakan sedikit keteduhan sementara mentari terus bergerak di angkasa. Seiring dengan makin menuanya hari, lendir mulai menyurut dan tanah tampak cukup kering untuk dipijak. Malam itu aku hanya tidur sebentar, dan keesokan harinya aku membuat perbekalan yang terdiri atas makanan dan minuman, sebagai persiapan untuk perjalanan mencari laut yang hilang dan kesempatan untuk diselamatkan.

Pada pagi ketiga, tanah sudah benar-benar kering dan makin mudah untuk dilangkahi. Aroma bangkai ikan begitu menyemangat, tetapi pikiranku dipenuhi hal-hal lain yang lebih mengerikan dan aku pun terus melangkah menuju antah berantah. Sepanjang hari aku menempa langkah ke arah barat, berpandu sebentuk bukit kecil yang menggunduk lebih tinggi dari permukaan daratan di kejauhan. Malamnya aku berhenti, dan hari berikutnya masih berjalan menuju bukit itu, meski tempat itu tak kunjung terlihat makin dekat dibanding ketika pertama kali aku melihatnya. Pada malam keempat aku mencapai lerengnya, yang ternyata lebih tinggi dari yang terlihat di kejauhan; bentangan lembah menajamkan reliefnya dari permukaan. Terlalu lelah untuk mendaki, aku pun tidur dalam bayang-bayang bukit.

Aku tidak tahu mengapa mimpi-mimpiku begitu liar malam itu. Tetapi sebelum bulan yang bersinar redup dan tak bulat sempurna naik dari daratan sebelah timur, aku terbangun bersimbah keringat dingin, enggan kembali lelap. Aku tak sanggup lagi melihat mimpi-mimpi itu. Dan di bawah cahaya rembulan aku menyadari betapa bodohnya aku telah bepergian di siang hari. Tanpa sengatan terik matahari, mestinya perjalananku bisa terasa lebih ringan. Benar saja, sekarang aku merasa cukup mampu untuk melanjutkan pendakian yang sempat enggan kulakukan pada saat petang. Membawa perbekalanku, aku mulai menuju puncak bukit.

Pernah kukatakan bahwa monotonnya daratan tak berujung sudah menjadi kengerian tersendiri bagiku, tetapi tampaknya kengerian yang lebih besar kurasakan ketika aku mencapai puncak bukit dan melihat seperti apa pemandangan di sisi lain yang hanya berupa ngarai tak terukur, yang relung-relungnya belum tersorot cahaya bulan yang masih bersinar terlalu rendah. Aku merasa seperti berada di tepi dunia, memandang kekacauan tak berdasar dalam kegelapan yang tampak begitu abadi. Dalam kegentaranku mengalir ingatan-ingatan ganjil tentang Paradise Lost, dan tentang upaya mengerikan Iblis untuk mendaki kegelapan tak berbentuk.

Seiring dengan makin meningginya bulan, aku bisa melihat lereng-lereng ngarai itu tidaklah setegak lurus yang kubayangkan. Langkan dan singkapan bebatuan menyediakan pijakan yang cukup kuat untuk dituruni, sementara setelah beberapa ratus kaki ke bawah, landaiannya menjadi sangat berundak. Didesak dorongan yang tak benar-benar bisa kupahami, dengan susah payah aku menuruni bebatuan dan berdiri di lereng landai di bawah, memandang ke arah kedalaman gelap yang belum ditembus cahaya.

Serta-merta perhatianku terpusat pada sebuah objek tunggal yang besar di sisi lain lereng, yang berdiri menjulang sekitar seratusan yard di depanku; sebuah objek yang memancar putih dalam rengkuhan sinar rembulan. Bahwa itu hanyalah sebuah batu raksasa, aku meyakinkan diriku sendiri; tetapi kusadari kesan yang ada pada kontur dan posisinya tidaklah berasal dari alam. Setelah mencermatinya dengan baik, sensasi yang tak bisa kuungkapkan memenuhiku; sebab selain ukurannya yang sangat besar, dan posisinya di tengah jurang dasar laut yang menganga sejak dunia baru lahir, tanpa ragu aku menyadari bahwa objek aneh itu adalah sebuah monolit sempurna yang telah tersentuh karya cipta manusia dan mungkin juga penyembahan makhluk bernyawa dan berakal.

Terpana dan ketakutan, meski masih merasakan antusiasme seorang ilmuwan atau arkaelog, aku menjelajahi sekitarku dengan lebih cermat. Bulan, yang sekarang berada di dekat puncak, bersinar dengan aneh dan terang-benderang di atas bebatuan curam yang berkeliman di jurang, dan memperlihatkan perairan luas yang mengalir di dasar, mengular jauh hingga tak terlihat di kedua sisi, dan hampir menjilat kakiku ketika aku menginjak lereng. Di seberang jurang, ombak-ombak kecil menerpa dasar monolit mahabesar itu, yang kini bisa kulihat bahwa permukaannya dipenuhi prasasti dan ukiran-ukiran ganjil. Teks dalam prasasti itu berasal dari sistem hieroglif yang asing bagiku, dan tak seperti yang banyak kulihat dalam buku-buku, sebagian besar terdiri atas simbol-simbol bahari yang konvensional seperti ikan, belut, gurita, krustasea, moluska, paus, dan semacamnya. Beberapa huruf menggambarkan hewan-hewan laut yang tidak diketahui dunia modern, tetapi pernah kulihat wujud-wujud busuknya di daratan yang timbul.

Meski begitu, apa yang membuatku benar-benar terpana adalah ukiran-ukiran gambarnya. Sangat jelas terlihat dari seberang sungai berkat ukuran mereka yang luar biasa, himpunan relief yang subjeknya pasti membuat Doré iri. Kupikir makhluk-makhluk itu dimaksudkan untuk menggambarkan manusia—atau setidaknya, semacam manusia; walau mereka tampak berenang-renang seperti ikan dalam gua air, atau memberi penghormatan kepada kuil monolit yang sepertinya juga berada di dalam air. Wajah dan wujud mereka, aku tak berani menceritakannya dengan detail; sebab mengingatnya saja memusingkan. Ganjil melebihi khayalan seorang Poe atau Bowler, secara menyeramkan mereka tampak seperti manusia dari penggambaran garisnya walau dengan tangan dan kaki berselaput, bibir lembek yang sangat lebar, mata besar berkaca-kaca, dan fitur-fitur lain yang tak menyenangkan diingat. Anehnya, pahatan mereka tampak tak sesuai dengan pemandangan yang melatarbelakanginya; sebab salah satu makhluk itu tergambar tengah menghabisi seekor paus yang sedikit lebih besar dari tubuhnya. Aku terkesan oleh keganjilan dan ukurannya yang tak wajar; tetapi secepat kilat memutuskan bahwa mereka pasti hanya dewa-dewa tahayul sekelompok suku pelaut; suku yang keturunan terakhirnya lenyap lama sebelum leluhur pertama Piltdown atau Neanderthal lahir. Terkejut-kejut oleh penglihatan masa lalu yang tak pernah terpikirkan oleh antropolog paling berani sekalipun, aku berdiri termangu sementara bulan menampilkan bayangan-bayangan aneh pada kanal senyap di depanku.

Kemudian tiba-tiba saja aku melihatnya. Hanya dengan sedikit gejolak untuk menunjukkan kemunculannya dari permukaan, makhluk itu meluncur dari gelapnya air. Sangat besar, tampak seperti Polyphemus, dan menjijikkan, ia melaju cepat bagai monster mimpi buruk menuju monolit itu, yang sekelilingnya kemudian dikalungi tangan-tangan raksasanya, dan kepala menyeramkannya lalu ditundukkan untuk mengeluarkan suara berirama. Sepertinya setelah itu aku menjadi gila.

Perihal pelarianku dari lereng dan tebing, dan perjalanan balikku menuju perahu, aku tak banyak ingat. Aku percaya aku bernyanyi keras-keras, dan tertawa-tawa tanpa alasan saat aku tak bisa bernyanyi. Aku mempunyai ingatan yang kabur tentang badai besar beberapa lama setelah aku sampai di perahu; pokoknya, aku tahu aku mendengar gemuruh petir dan suara-suara lain yang hanya dikeluarkan alam dalam suasana hati terburuknya.

Ketika tersadar, aku berada di sebuah rumah sakit San Fransisco; dibawa ke sana oleh seorang kapten kapal Amerika yang menemukan perahuku di tengah lautan. Dalam keadaan sadar tak sadar aku menceritakan segalanya, tetapi tak ada yang menganggapnya serius. Perihal lonjakan daratan di laut Pasifik, para penyelamatku tak ada yang tahu; dan aku pun merasa percuma saja memaksakan hal yang kutahu tak akan mereka percaya. Sempat aku menemui seorang etnolog terkemuka, dan membuatnya terkesan dengan pertanyaan-pertanyaan aneh tentang legenda Filistin kuno tentang Dagon, sang Dewa Laut; tetapi begitu menyadari bahwa pemikirannya sangat konvensional, aku tak melanjutkan pertanyaanku.

Pada malam harilah, terutama ketika bulan tak bulat penuh dan bercahaya temaram, aku melihat makhluk itu. Aku mulai mengonsumsi morfin; tetapi obat itu hanya memberiku ketenangan sementara dan malah menjerumuskanku dalam genggamannya sebagai pecandu putus asa. Oleh karena itulah aku akan mengakhiri segalanya, dengan menuliskan catatan penuh informasi atau mungkin sekadar hiburan bagi sesama manusia sepertiku. Sering aku bertanya pada diriku sendiri mungkinkah semua itu hanyalah khayalan—efek dari demam gila yang kuderita selama terbaring lemas penuh racauan di atas perahu setelah melarikan diri dari kapal Jerman. Namun, tak pernah sekali pun sebuah jawaban kudapatkan. Aku tak bisa memikirkan laut dalam tanpa bergidik mengingat makhluk-makhluk tak bernama yang mungkin saja masih merangkak dan menggelepar di dasarnya yang licin, menyembah berhala-berhala kuno pujaan mereka dan mengukir keserupaan menjijikkan mereka sendiri di tugu granit bawah air. Aku terus terbayang sebuah hari ketika mereka bangkit dari gelombang besar untuk menaklukkan dengan cakar-cakar busuk mereka sisa-sisa dari peradaban manusia yang kelelahan digempur perang. Sebuah hari ketika daratan tenggelam, dan dasar laut yang gelap bangkit di tengah kekacauan dunia.

Kiamat sudah dekat. Aku mendengar suara dari pintu, seakan-akan sebentuk tubuh licin tengah bersandar di sana. Ia tak boleh menemukanku. Tuhan, tangan itu! Ke jendela! Ke jendela!

***

Worldbuilding dalam Novel Remaja

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Instagram semestakatarsis sebagai infografik.

Kamu sedang menulis novel remaja? Bingung dengan penulisan latarnya? Dalam artikel ini, saya mencoba menjelaskan beberapa unsur penting yang perlu diperhatikan ketika menciptakan latar atau dunia dalam novel remaja. Saya harap artikel ini dapat membantu para penulis novel remaja merancang latar berikut kondisi sosial budayanya dengan logis, menyeluruh, dan terarah.


Apa itu worldbuilding? Secara sederhana, worldbuilding adalah bagian dari proses menulis di mana kita menciptakan dunia yang akan menjadi latar kehidupan cerita kita.

Apa saja yang ada dalam worldbuilding? Worldbuilding dapat mencakup kondisi geografis, sosial, budaya, dan politik; dan suasana atau atmosfer cerita. Dalam proses penciptaan dunia ini, kita menentukan hal-hal yang akan menempatkan cerita kita dalam situasi dan kondisi yang konsisten. Dengan begitu, cerita kita akan lebih terstruktur dan terarah. Misalnya, ketika kita sudah menentukan dunia yang realistis dan berlatar di Indonesia, kita tidak akan memunculkan elemen fantasi atau membuat tokoh-tokoh kita jalan-jalan di Sydney, Australia tanpa alasan yang jelas.

Ada worldbuilding dalam novel remaja? Tentu saja! Worldbuilding tidak terbatas untuk novel fantasi. Novel remaja yang umumnya merupakan realistic fiction pun membutuhkannya. Bagaimanapun, kita perlu menentukan di mana tokoh-tokoh remaja kita tinggal dan seperti apa gaya hidup mereka, kan?

Nah, dalam artikel ini, ada tiga unsur penting worldbuilding dalam novel remaja yang akan dibahas. Unsur-unsur ini dapat diterapkan untuk genre apa saja, baik kontemporer maupun fantasi.

Continue reading “Worldbuilding dalam Novel Remaja”